Jauh sebelum ada Senayan,
Lapangan Ikada yang juga disebut Lapangan Gambir merupakan pusat kegiatan olah
raga. Nama lapangan Ikada sendiri baru dikenal pada masa pendudukan Jepang,
ketika negara itu menduduki Jakarta pada 1942, dan kemudian mengganti sejumlah
nama tempat, lapangan dan jalan-jalan.
Dinamai Ikada, karena di lapangan ini para atlet Ibu Kota setiap hari mengadakan latihan-latihan. Tapi yang memanfaatkan lapangan itu sebenarnya bukan hanya para atlet saja. Karena di sekitar lapangan yang luas itu terdapat pula belasan lapangan sepakbola, termasuk lapangan hockey. Di lapangan ini terdapat pula tempat pacu kuda. Termasuk lapangan pacu kuda untuk satuan militer dari kavaleri. Di lapangan inilah sejumlah klub sepakbola pada tahun 1940-an dan 50-an memiliki lapangan sendiri. Seperti lapangan Hercules, VIOS dan BVC, yang merupakan kesebelasan papan atas pada kompetisi BVO (Batavia Vootball Organization) dan setelah kemerdekaan digantikan oleh Persija.
Sebelum adanya Senayan (1962), Ikada digunakan sebagai tempat latihan dan pertandingan PSSI. Di tempat inilah sebelum lapangan itu dibongkar diselenggarakan pertandingan-pertandingan sepak bola bergengsi. Termasuk mendatangkan berbagai kesebelasan luar negeri. Nama-nama pemain sepakbola seperti Ramang, Djamiat Dalhar, Tanoto (Tan Liong Houw), Kiat Sek, Van der Vin, bahkan kemudian generasi almarhum Sutjipto Suntoro dan masih puluhan nama lagi selalu bermain di sini. Iswadi Idris dan Bop Hippy yang kemudian menjadi pemain nasional dibentuk dari tempat ini melalui kompetisi-kompetisi gawang (di bawah 14 tahun).
Pada Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-II tahun 1952 di sebelah selatan lapangan ini dibangun sebuah stadion, yang juga diberi nama Stadion Ikada. Proses pembangunan itu singkat, hanya 93 hari. Namun nama itu cukup membekas sehingga nama Stadion Ikada makin dikenal.
Di lapangan inilah pada 13 September 1945 di bawah ancaman moncong meriam dan bayonet Jepang, rakyat Ibu Kota dan sekitarnya mengadakan rapat raksasa untuk lebih mempersatukan rakyat dalam membela kemerdekaan. Tapi karena menghadapi ancaman Jepang dan mencegah rakyat menjadi korban, Bung Karno hanya berpidato sangat pendek. Takut akan terjadi ‘banjir darah’, Presiden Soekarno menganjurkan agar massa rakyat segera bubar dan pulang ke tempat kediamannya masing-masing.
Almarhum Adam Malik yang hadir dalam rapat raksasa itu dalam bukunya Riwayat Proklamasi Kemerdekaan 1945 menyebutkan bahwa rapat raksasa yang diselenggarakan kelompok Menteng 31 itu tanpa persiapan sama sekali. Menurut mantan Wapres, keadaan itu berbeda ketika Jepang mempergunakan Lapangan Ikada untuk menggembleng semangat ala tiga A (Aku Anti Amerika) yang persiapannya dilakukan selama berhari-hari.
Tentu saja generasi sekarang tidak lagi mengenal lapangan Ikada. Karena tiap orang menyebutnya Lapangan Monas. Lapangan terluas di dunia ini dibangun oleh gubernur jenderal Herman William Daendels (1818). Mula-mula namanya Champ de Mars karena berbarengan dengan kekuasaan Napoleon Bonaparte yang menaklukkan Belanda. Tapi ketika Belanda berhasil merebut kembali negerinya dari Prancis, namanya jadi Koningsplein (Lapangan Raja). Sementara rakyat lebih senang menyebut Lapangan Gambir, yang namanya kini diabadikan untuk nama stasion kereta api.
0 komentar:
Posting Komentar