sekarang Fch Online akan berbagi-bagi sejarah sama kalian, yang berjudul "KONFLIK PALESTINA & ISRAEL" silahkan dibaca dengan seksama.. hehehe........
Pendahuluan
Kawasan Timur Tengah merupakan sebuah kawasan geopolitik yang menjadi wilayah konflik yang berkepanjangan. Wilayahnya yang mengandung sumber daya mineral dalam jumlah yang banyak, telah menjadikan kawasan ini sebagai hotbed atau ajang unjuk kekuatan negara-negara besar yang memiliki kepentingan akan energi.
Kawasan Timur Tengah merupakan sebuah kawasan geopolitik yang menjadi wilayah konflik yang berkepanjangan. Wilayahnya yang mengandung sumber daya mineral dalam jumlah yang banyak, telah menjadikan kawasan ini sebagai hotbed atau ajang unjuk kekuatan negara-negara besar yang memiliki kepentingan akan energi.
Tidak hanya
itu, kawasan Timur Tengah merupakan kawasan berasalnya tiga agama Samawi, yaitu
Yahudi, Kristen, dan Islam yang sekaligus menjadikan kawasan tersebut sebagai
kawasan suci bagi ketiga agama. Fakta ini pula yang melatarbelakangi terjadinya
Perang Salib dalam kurun waktu ratusan tahun. Dalam era modern, berbagai krisis
terjadi di wilayah ini, seperti perang Iran-Irak, Irak-Kuwait, invasi Amerika
Serikat ke Irak, dan konflik Palestina-Israel yang telah lebih dari lima dekade
masih berlangsung hingga saat ini.
Konflik
Palestina-Israel adalah konflik yang paling lama berlangsung di wilayah Timur
Tengah (dengan mengenyampingkan Perang Salib), yang menyebabkannya menjadi
perhatian utama masyarakat internasional. Sebagai contoh, konflik antara
keduanya menjadi agenda pertama dalam Sidang Majelis Umum Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), ketika PBB baru terbentuk dan sampai saat ini belum
terselesaikan meski ratusan resolusi telah dikeluarkan.
Kedua entitas
politik ini telah “bertarung” di kawasan Timur Tengah semenjak berdirinya
negara Israel pada tahun 1948. Dalam beberapa waktu belakangan, telah terjadi
serangkaian peristiwa penting yang menandai proses perdamaian antara kedua
entitas ini. Jimmy Carter, mantan Presiden Amerika Serikat (AS), sedang melakukan
safari ke wilayah Palestina, dan melakukan dialog dengan pemimpin-pemimpin
Palestina.
Perkembangan
terakhir yang didapat dari perjalanan Jimmy Carter tersebut, Hamas bersedia
untuk mengakui eksistensi Israel di wilayah Timur Tengah, yang menandai perubahan
platform politik yang cukup fundamental dari Hamas mengingat mereka merupakan
partai politik Palestina yang paling keras mengecam hadirnya Israel di wilayah
Timur Tengah. Meski kemudian kabar ini dibantah oleh pemimpin Hamas, Khaled
Meshaal yang mengatakan bahwa Hamas tetap dalam posisi untuk memperjuangkan
negara Palestina dengan batas pada tahun 1967, yang menjadikan Yerusalem
sebagai ibukota Palestina, tanpa mengakui eksistensi Israel.
Belum hilang
dari ingatan, ketika pemerintahan George W. Bush berusaha menengahi konflik
Timur Tengah dengan mengadakan Konferensi Annapolis, yang mengeluarkan
rekomendasi mengenai perdamaian antara Palestina dan Israel. Konferensi ini
tidak hanya dihadiri oleh perwakilan dari Palestina dan Israel, namun juga dari
negara-negara lain seperti Lebanon, Suriah, Mesir, Yordania, dan negara-negara
lain di Kawasan Timur Tengah. Pada tahun 2005, Ariel Sharon (Kadima) sebagai
Perdana Menteri Israel pada saat itu, mengeluarkan kebijakan unilateral
disengagement plan yang disetujui oleh Knesset (parlemen Israel).
Dengan adanya
kebijakan tersebut, seluruh pemukiman Israel yang berada di wilayah Jalur Gaza,
dan beberapa di Tepi Barat (West Bank) ditarik dan dihancurkan. Kebijakan ini
memang tidak langsung membuahkan perdamaian permanen antara Palestina dan
Israel, tetapi setidaknya usaha untuk mewujudkan hal tersebut sudah semakin
dekat.
Tetapi, konflik
antara Palestina – Israel tidak bisa hanya dilihat dari kejadian 5 atau 10
tahun belakangan. Perseteruan antara kedua entitas ini telah berlangsung selama
enam dekade (jika dihitung dari terbentuknya negara Israel), dan dimulainya
konflik antara Palestina – Israel telah melalui latar belakang sejarah yang
cukup panjang.
Periode
Pra-1920 : Zionisme, Kekalahan Ottoman, dan Janji-Janji Pemenang Perang
Meskipun telah memiliki catatan sejarah dalam dokumentasi seperti Alkitab dan Alquran, Negara Israel belum terbentuk sampai pada tahun 1948. Semenjak kehancuran Kerajaan Israel dan penjajahan oleh Romawi, Israel mengalami diaspora, dan tidak pernah memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat. Diaspora telah menghasilkan penyebaran umat Yahudi di seluruh dunia, khususnya di Eropa. Mereka berasimilasi dengan masyarakat di sekitarnya, namun tetap mempraktikkan ajaran-ajaran Yahudi.
Meskipun telah memiliki catatan sejarah dalam dokumentasi seperti Alkitab dan Alquran, Negara Israel belum terbentuk sampai pada tahun 1948. Semenjak kehancuran Kerajaan Israel dan penjajahan oleh Romawi, Israel mengalami diaspora, dan tidak pernah memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat. Diaspora telah menghasilkan penyebaran umat Yahudi di seluruh dunia, khususnya di Eropa. Mereka berasimilasi dengan masyarakat di sekitarnya, namun tetap mempraktikkan ajaran-ajaran Yahudi.
Pada awalnya,
tidak ada gerakan nasionalisme Yahudi yang mempunyai tujuan untuk kembali ke
tanah Israel, karena pada umumnya warga Yahudi diterima di wilayah dimana
mereka berasimilasi. Tetapi, setelah munculnya pogrom di Rusia, paham
anti-semit di kawasan Eropa Timur dan Tengah, dan juga kematian Alfred Dreyfus
(Kapten Tentara Prancis beragama Yahudi) karena tuduhan menjadi mata-mata
musuh, gerakan nasionalisme Yahudi muncul di kalangan Yahudi Eropa.
Gerakan ini
lazim disebut dengan Zionisme, yang ditemukan dan dipopulerkan oleh seorang
jurnalis Yahudi berkebangsaan Austria bernama Theodore Herzl, melalui buku
berjudul Der Judenstaat. Herzl menganggap, dengan adanya diskriminasi
berkepanjangan terhadap warga Yahudi di hampir seluruh wilayah Eropa, maka
asimilasi bukan lagi menjadi pilihan bagi Yahudi apabila mereka ingin tetap
hidup. Zionisme telah berhasil membangkitkan nasionalisme Yahudi yang berada di
Eropa, sehingga mewujudkan terjadinya Aliyah[7] dalam beberapa gelombang.
Ketika gerakan
Zionisme mulai marak di kawasan Eropa, wilayah Palestina/Israel yang kita kenal
pada saat ini masih berada dibawah kekuasaan Imperium Ottoman. Pada saat itu,
Imperium Ottoman masih mengontrol sebagian besar wilayah di kawasan Asia Barat,
mulai dari Asia Minor/Turki sampai ke seluruh semenanjung Arab. Selama kurang
lebih 400 tahun, Ottoman bertahan di wilayah Timur Tengah yang kita kenal pada
saat ini.
Eksistensi
Imperium Ottoman di kawasan Timur Tengah berakhir ketika kekalahan mereka pada
Perang Dunia I. Kekalahan Ottoman bukan saja disebabkan oleh Inggris dan
Prancis, namun juga oleh bangsa Arab yang berada di wilayah Ottoman. Bangsa
Arab memberontak kepada Imperium Ottoman atas bantuan Inggris, yang telah
menjanjikan untuk membantuk terbentuknya sebuah pemerintahan Arab yang
independen apabila bangsa Arab mau melawan Ottoman. Janji dari Inggris ini
tertuang dalam korespondensi antara Sir Henry MacMahon (Pejabat Tinggi Inggris
di Kairo) dengan Sharif Hussein (pemimpin Arab Hashemite), yang dikenal dengan
sebutan Hussein-MacMahon Correspondence.
Namun janji
Inggris terhadap Arab untuk membantuk pembentukan pemerintahan Arab tidak
segera diwujudkan. Inggris dan Prancis justru membuat perjanjian bilateral yang
membagi bekas wilayah Imperium Ottoman untuk negara-negara Eropa, yang dikenal
dengan Sykes-Picot Agreement. Dengan adanya kesepakatan tersebut, bangsa Arab
tidak mendapatkan wilayah bekas Imperium Ottoman, yang secara otomatis membuat
mereka tidak mungkin untuk bisa membentuk pemerintahan Arab yang independen.
Dalam
perjanjian tersebut, Inggris mendapatkan Yordania, Irak, dan sebagian wilayah
Haifa, sementara Prancis mendapatkan Turki, Irak bagian utara, Suriah, dan
Lebanon.[10] Sedangkan negara-negara lain dibebaskan untuk memilih wilayah yang
akan dikuasainya. Ketika dibuatnya Sykes-Picot Agreement, wilayah Palestina
belum diserahkan kepada negara manapun, sehingga dijadikan sebagai sebuah
wilayah internasional yang dikelola secara bersama-sama diantara negara-negara
pemenang perang.
Pada waktu yang
hampir bersamaan dengan dengan pembuatan Sykes-Picot Agreement, Inggris kembali
mengumbar janji kepada bangsa Yahudi dengan mendukung pendirian negara Yahudi
di tanah Palestina. Dokumen ini dikenal dengan nama Balfour Declaration, yang
menjadi landasan bagi gerakan Zionisme untuk mewujudkan visi terbentuknya
negara Yahudi yang eksklusif dengan kembali ke tanah Palestina. Lahirnya
janji-janji dari Inggris kepada Yahudi dan Arab telah melatarbelakangi konflik
antara Arab dan Yahudi, yang merasa berhak dan didukung oleh Inggris.
Sykes-Picot
Agreement yang dibuat antara Inggris dan Prancis ternyata tidak menyelesaikan
permasalahan yang ada di kawasan Timur Tengah, karena sengketa yang terus
terjadi antara negara-negara yang menguasai bekas wilayah Ottoman. Akhirnya
Dewan Sekutu memutuskan untuk membuat konferensi yang diadakan di San Remo,
Italia, untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
Konferensi San
Remo menghasilkan keputusan yang memberikan wilayah Palestina dan Irak kepada
Inggris, sedangkan Prancis mendapatkan Suriah dan Lebanon. Keputusan ini
mengikutsertakan Balfour Declaration sebagai salah satu landasan dibuatnya
alokasi wilayah tersebut, disamping Pasal 22 dari Kovenan Liga Bangsa-Bangsa.
Liga Bangsa-Bangsa menggunakan hasil dari Konferensi San Remo untuk membuat
British Mandate of Palestine pada tahun 1920, yang menjadikan wilayah Palestina
sebagai wilayah mandat yang akan dikelola oleh Inggris hingga penduduk di
wilayah tersebut dapat memerintah secara otonom.
Periode 1920-1948 : Mandat Inggris
hingga terbentuknya Negara Israel
Tugas yang diberikan LBB kepada Inggris untuk mengelola wilayah Palestina sampai mereka bisa memerintah secara otonom, ternyata menimbulkan banyak friksi di antara warga di wilayah Palestina, khususnya antara Arab dan Yahudi. Kedua bangsa tersebut telah dijanjikan oleh Inggris untuk bisa membentuk pemerintahan berdaulat yang berdiri sendiri, sehingga menimbulkan banyaknya gesekan terutama klaim mengenai siapa yang paling berhak untuk berada di wilayah Palestina.
Tugas yang diberikan LBB kepada Inggris untuk mengelola wilayah Palestina sampai mereka bisa memerintah secara otonom, ternyata menimbulkan banyak friksi di antara warga di wilayah Palestina, khususnya antara Arab dan Yahudi. Kedua bangsa tersebut telah dijanjikan oleh Inggris untuk bisa membentuk pemerintahan berdaulat yang berdiri sendiri, sehingga menimbulkan banyaknya gesekan terutama klaim mengenai siapa yang paling berhak untuk berada di wilayah Palestina.
Dalam kurun
waktu hampir 30 tahun selama pemerintahan Mandat Inggris, telah terjadi
beberapa bentrokan diantara bangsa Arab dan Yahudi yang berada di wilayah
Palestina, antara lain Palestine Riots 1920[11], Palestine Riots 1929, Arab
Revolt 1936-1939, Jerusalem Riots 1947. Dalam kurun waktu ini pula, terjadi
Perang Dunia II di wilayah Eropa yang telah melahirkan tragedi holocaust,
sehingga semakin menguatkan niat bangsa Yahudi di Eropa untuk kembali ke tanah
Palestina.
Keberadaan
Inggris di wilayah Palestina untuk membantu warga di Palestina menjadi otonom,
justru menimbulkan resistensi dari Arab, sehingga keberadaannya tidak berfungsi
maksimal dan jauh dari tujuan awal yang diharapkan ketika LBB menugaskan
Inggris.
Lahirnya PBB sebagai penerus tugas dari LBB, tidak banyak membantu penyelesaian konflik yang terjadi di wilayah Palestina. PBB, khususnya Majelis Umum, berinisiatif untuk mebuat sebuah proposal perdamaian untuk Arab dan Yahudi di Palestina, yaitu dengan membuat partisi atau pembagian wilayah Palestina, sehingga terbentuk negara Arab dan Yahudi secara terpisah. Dalam proposal ini, Jerusalem tidak ditempatkan dibawah penguasaan Arab ataupun Yahudi, tetapi dijadikan sebagai sebuah wilayah internasional yang diurus secara internasional oleh PBB.
Lahirnya PBB sebagai penerus tugas dari LBB, tidak banyak membantu penyelesaian konflik yang terjadi di wilayah Palestina. PBB, khususnya Majelis Umum, berinisiatif untuk mebuat sebuah proposal perdamaian untuk Arab dan Yahudi di Palestina, yaitu dengan membuat partisi atau pembagian wilayah Palestina, sehingga terbentuk negara Arab dan Yahudi secara terpisah. Dalam proposal ini, Jerusalem tidak ditempatkan dibawah penguasaan Arab ataupun Yahudi, tetapi dijadikan sebagai sebuah wilayah internasional yang diurus secara internasional oleh PBB.
Proposal
menjadi Resolusi 181 Majelis Umum PBB, atau lebih dikenal dengan UN Partition
Plan, memberikan 55% wilayah Palestina untuk dijadikan negara Yahudi, dan 45%
sisanya untuk negara Arab. Secara demografis, komunitas Yahudi hanya ada
sekitar 7% dari seluruh penduduk Palestina, dan 93% sisanya merupakan Arab.
Dengan adanya ketidakseimbangan antara jumlah penduduk dan wilayah yang
diberikan oleh PBB, protes dari bangsa Arab pun bermunculan.
Adanya
penolakan dari bangsa Arab yang merasa diperlakukan tidak adil melalui UN
Partition Plan telah memicu kerusuhan selanjutnya di Yerusalem antara Arab
dengan Yahudi (khususnya melalui pasukan paramiliter Haganah). Penolakan dari
bangsa Arab telah menggagalkan proposal perdamaian ini, selain itu statusnya
yang merupakan resolusi Majelis Umum PBB menjadikannya tidak mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat (non-legally binding).
Gagalnya Mandat
Inggris dan UN Partition Plan di Palestina, tidak menghambat bangsa Yahudi
untuk mewujudkan visi dari Zionisme. Pada hari yang bersamaan dengan
berakhirnya Mandat Inggris, David Ben-Gurion yang mewakili Yahudi,
memproklamirkan berdirinya Negara Israel, dan hanya dalam hitungan jam, Uni
Sovyet dan Amerika Serikat memberikan pengakuaan terhadap negara yang baru
lahir tersebut.[15] Proklamasi kemerdekaan Israel ini menyulut kemarahan bangsa
Arab, dan menimbulkan konflik bersenjata pertama antara bangsa Arab dengan
Yahudi (yang kali ini telah menjadi Israel).
Periode 1948 : Konflik Tak
Berujung, dan Perjanjian-perjanjian Damai yang Impoten
Kelahiran Israel pada 14 Mei 1948 telah menginisiasi konflik berkepanjangan antara Arab dengan Israel. Konflik bersenjata pertama antara Arab dengan Israel terjadi beberapa hari sesudah diproklamasikannya kemerdekaan Israel. Pada saat itu, Israel belum memiliki angkatan bersenjata yang resmi, dan hanya mengandalkan organisasi paramiliter seperti Haganah, Irgun, Palmach yang berjuang tanpa komando. Sementara bangsa Arab di Palestina juga mengandalkan organisasi paramiliter Futuwa dan Najjada.
Kelahiran Israel pada 14 Mei 1948 telah menginisiasi konflik berkepanjangan antara Arab dengan Israel. Konflik bersenjata pertama antara Arab dengan Israel terjadi beberapa hari sesudah diproklamasikannya kemerdekaan Israel. Pada saat itu, Israel belum memiliki angkatan bersenjata yang resmi, dan hanya mengandalkan organisasi paramiliter seperti Haganah, Irgun, Palmach yang berjuang tanpa komando. Sementara bangsa Arab di Palestina juga mengandalkan organisasi paramiliter Futuwa dan Najjada.
Namun setelah
itu, bangsa Arab didukung oleh negara-negara Arab disekitar Israel seperti
Irak, Yordania dan Mesir untuk mendukung perlawanan Arab terhadap Israel. Di
tengah-tengah peperangan, organisasi paramiliter Israel dilebur menjadi sebuah
angkatan bersenjata yang disebut dengan Israeli Defense Forces, sehingga mereka
memiliki kekuatan militer yang lebih terkomando dan rapi. Peperangan 1948 atau
yang dikenal dengan nama Al Nakba dimenangkan oleh Israel, setelah selama lebih
dari satu tahun bertempur.
Berakhirnya
perang Al Nakba ini ditandai dengan dibuatnya perjanjian perdamaian antara
Israel dengan negara-negara Arab disekitarnya pada bulan Juli 1949. Dan pada
tahun itu pula, eksistensi Israel sebagai negara ditegaskan dengan diterimanya
Israel sebagai anggota PBB. Perang 1948 telah memunculkan persoalan pengungsi
Palestina yang terusir dari kediamannya di Palestina. Sekitar 750.000 warga
Palestina terpaksa menjadi pengungsi dan mencari perlindungan di negara-negara
Arab.
Konflik
bersenjata Arab dan Israel tidak berhenti di tahun 1949. Selama 17 tahun,
ketegangan antara negara-negara Arab dan Israel masih terus terjadi, khususnya
dari Presiden Mesir pada saat itu, yaitu Gamal Abdul Nasser. Dirinya seringkali
mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang berisikan tentang keinginannya untuk
menghancurkan Israel.
Pada tahun
1967, terjadi konflik berikutnya antara Arab dan Israel. Israel yang telah
mengerahkan kekuatan intelijennya ke seluruh wilayah negara-negara Arab, telah
berhasil menghimpun informasi berkaitan dengan rencana negara-negara Arab untuk
menyerang Israel. Tepatnya pada tanggal 5 Juni 1967, Israel melancarkan
serangan pertamanya ke Mesir, yang dikhususkan ke pangkalan udara militer yang
menjadi basis kekuatan Mesir dan selama 5 (lima) hari kemudian, Israel terus
melancarkan serangan-serangannya ke negara-negara Arab yang berbatasan langsung
dengan Israel seperti Yordania, Suriah, dan Lebanon.
Perang yang
dikenal juga dengan Six-Days War ini kembali dimenangkan oleh Israel, dan tidak
hanya itu, Israel berhasil merebut wilayah Gaza dan Semenanjung Sinai dari
Mesir, Jerusalem Timur dan Tepi Barat dari Yordania, dan Dataran Tinggi Golan
(Golan Heights) dari Suriah. Secara faktual, aliansi kekuatan militer
negara-negara Arab jauh lebih besar dibandingkan dengan Israel. Namun Israel
berhasil memenangkan peperangan dan berhasil mengubah peta geopolitik di
kawasan Timur Tengah. Perang 1967 lagi-lagi menghasilkan problem pengungsi.
Sekitar 250.000 penduduk Palestina menjadi bagian dari gelombang kedua pengungsi
Palestina, dan bergabung bersama penduduk Palestina lain yang telah berada di
pengungsian.
Kekalahan
negara-negara Arab dalam Six-Days War tidak membuat konflik antara Arab dengan
Israel berakhir. Pada tahun 1973, tepat sebelum peringatan hari Yom Kippur oleh
Yahudi, kembali terjadi konflik bersenjata antara Arab dengan Israel. Yom
Kippur War menjadi puncak konflik bersenjata antara Arab dan Israel.
Dalam perang
ini, Bangsa Arab berhasil membalas kekalahannya dari Israel. Serbuan
negara-negara Arab berhasil melumpuhkan Israel, meski Israel tidak dikalahkan
secara telak. Perang ini berhasil memaksa Israel untuk mengembalikan
Semenanjung Sinai dan Gaza kepada Mesir melalui sebuah perjanjian perdamaian
pada tahun 1979.
Sampai pada
titik ini, belum ada entitas Palestina yang menjadi representasi perlawanan
bangsa Arab yang berada di Palestina. Palestine Liberation Organization (PLO)
memang telah dibentuk pada tahun 1964 oleh Liga Arab, tetapi statusnya sebagai
representasi masyarakat Palestina baru ditegaskan pada tahun 1974.
Kehadiran PLO
sebagai representasi resmi bagi rakyat Palestina telah membuat perjuangan
Palestina semakin terkontrol, dan memudahkan Palestina untuk ikut serta dalam
konferensi-konferensi internasional, karena status PLO sebagai gerakan
pembebasan nasional yang diakui sebagai salah satu subyek hukum internasional.
Meski telah
memiliki organisasi yang resmi, masyarakat Palestina di tataran akar rumput
tetap melancarkan perjuangannya secara otonom. Salah satu buktinya, rakyat Palestina
melakukan perlawanan terhadap Israel atau yang dikenal dengan “Intifada”.
Perlawanan ini dilatarbelakangi oleh kekecewaan rakyat Palestina terhadap
bangsa Arab yang tidak lagi berjuang bersama-sama mereka, lalu PLO yang belum
bisa menunjukkan posisinya sebagai representasi dari rakyat Palestina, dan juga
tindakan represif dari Israel melalui pembunuhan-pembunuhan terhadap tokoh
Palestina, penghancuran properti milik warga Palestina, dan juga pemindahan
penduduk secara paksa (deportasi).
Salah satu ciri
khas Intifada di Palestina adalah pelemparan batu yang dilakukan oleh rakyat
Palestina terhadap angkatan bersenjata Israel. Lahirnya Intifada pertama di
Palestina, dan juga kematian Abu Jihad, telah menginspirasi beberapa pemimpin
Palestina untuk memproklamasikan berdirinya negara Palestina pada tahun 1988.
Semenjak tahun 1988, istilah “Palestina” untuk menggambarkan sebuah negara
mulai dikenal. Meski pada tahun-tahun selanjutnya, PLO tetap menjadi
representasi Palestina untuk berjuang di forum internasional, karena status
Palestina sebagai negara belum diakui secara internasional.
Setelah
terbentuknya PLO dan dideklarasikannya negara Palestina, sejumlah konferensi
perdamaian antara Palestina dan Israel mulai marak dilakukan oleh negara-negara
besar, seperti AS dan Russia. Konferensi perdamaian paling awal adalah Madrid
Conference yang dilaksanakan pada tahun 1991, yang kemudian dilanjutkan dengan
Oslo Accords pada tahun 1993.
Oslo Accords
menjadi salah satu tahapan penting dalam kronik perdamaian Palestina-Israel,
karena memuat rencana-rencana perdamaian dan pembentukan negara Palestina.
Bahkan dengan adanya Oslo Accords, Intifada yang telah berlangsung selama 5
tahun dapat dihentikan. Namun seiring terbunuhnya Yitzhak Rabin yang berperan
penting dalam Oslo Accords, kesepatakan tersebut kembali mentah dan tidak dapat
diimplementasikan. Setelah Oslo Accords, masih ada Hebron Agreement dan juga
Wye River Memorandum yang tidak menghasilkan apapun bagi proses perdamaian
Palestina dan Israel.
Pada tahun 2000, AS kembali
berusaha untuk membuka jalan bagi kemungkinan perdamaian antara Palestina dan
Israel. Pertemuan antara Bill Clinton, Ehud Barak, dan Yasser Arafat di Camp
David, AS, kembali tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Pada tahun ini pula,
Intifada jilid ke-2 kembali muncul di masyarakat Palestina.
Pasca Camp
David Summit, masih ada upaya perdamaian melalui Beirut Summit yang diprakarsai
oleh Arab Peace Initiative, dan juga proposal Peta Jalan atau Road Map for
Peace yang diusulkan oleh Quartet on Middle East yang terdiri dari AS, Rusia,
PBB, dan Uni Eropa (UE). Dan sama seperti upaya-upaya perdamaian sebelumnya,
kedua pertemuan itu tidak berhasil mendamaikan Palestina dan Israel.
Pada tahun 2007, di masa-masa
akhir pemerintahan George W. Bush, Quartet on Middle East ditambah dengan
partisipasi dari Mesir, mengadakan konferensi untuk kembali membicarakan
perdamaian antara Palestina dan Israel di Annapolis. Untuk pertama kalinya
dalam kronik sejarah proses perdamaian Palestina dan Israel, solusi dua negara
disebutkan secara eksplisit dalam proses konferensi.
Dengan
diterimanya solusi dua negara dalam Annapolis Conference, maka telah terjadi
perubahan dalam platform politik yang telah lama dianut oleh Palestina dan
Israel. Meski demikian, hasil dari Annapolis Conference masih belum bisa
diimplementasikan karena semakin rumitnya konflik yang terjadi di wilayah
Palestina-Israel.
Penutup
Sebagai salah
satu konflik terpanjang dalam sejarah umat manusia, perseteruan antara
Palestina dengan Israel harus ditanggapi dengan hati-hati. Karena begitu banyak
aspek yang terlibat dalam konflik tersebut, sekaligus latar belakang yang
sangat rumit, menjadikan isu ini sebagai isu yang sangat sensitif. Bagi
Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, konflik
Palestina-Israel seringkali dibawa ke dalam ranah konflik agama, yang
sesungguhnya merupakan konklusi yang salah.
Apabila sejarah
konflik antara Palestina dengan Israel dipelajari secara lebih terperinci dan
obyektif, maka bias argumentasi yang muncul akan semakin berkurang, dan
permasalahan ini dapat dilihat secara jernih. Jika demikian, Indonesia dapat
menentukan sikapnya dalam menghadapi isu ini, sekaligus menegaskan posisinya
sebagai negara demokratis yang menerapkan politik bebas aktif.
[1] Anup Shah, “The Middle East”, http://www.globalissues.org/Geopolitics/MiddleEast.asp, 22 April 2008, 09.22 WIB
[2] Lina Alexandra dan Bantarto Bandoro, “Ketidakstabilan Permanen di Timur Tengah”, Analisis CSIS Indonesia dan Isu-Isu Global, Centre for Strategic and International Studies, Jakarta 2007, hlm. 63.
[3] International Herald Tribune, “Hamas and Syria are ready for peace, Carter Says”, http://www.iht.com/articles/2008/04/21/mideast/carter.php, 22 April 2008, 08.53 WIB
[4] CNN.com, “Hamas : No plan to recognize israel”, http://edition.cnn.com/2008/WORLD/meast/04/21/carter.hamas/index.html, 22 April 2008, 08.56 WIB
[5] Diaspora adalah kondisi ketika Yahudi tidak lagi berada di wilayah Israel yang dikenal dalam tradisi biblikal.
[6] Dennis Ross, The Missing Peace The Inside Story of the Fight for Middle East Peace, Farrar Straus and Giroux, New York, 2005, hlm.16
[7] Aliyah atau pendakian—istilah yang dipakai untuk proses berpindahnya Yahudi dari Eropa/wilayah lain, menuju tanah perjanjian
[8] Ron David, Arab-Israel Untuk Pemula, Terjemahan : Pito, Resist Book, Yogyakarta, 2007, hlm.85
[9] Wikipedia, “Sykes-Picot Agreement”, http://en.wikipedia.org/wiki/Sykes-Picot_Agreement, 22 April 2008, 09.49 WIB. Perjanjian ini terkadang disebut juga dengan Sykes-Picot-Sazanov Agreement, karena keterlibatan diplomat Rusia dalam proses pembuatan perjanjian.
[10] Ibid.
[11] Wikipedia, “1920 Palestine Riots”, http://en.wikipedia.org/wiki/1920_Palestine_riots, 22 April 2008, 13.18 WIB
[12] Wikipedia, “1929 Palestine Riots”, http://en.wikipedia.org/wiki/1929_Palestine_riots, 22 April 2008, 13.19 WIB
[13] Wikipedia, “1936-1939 Arab Revolt in Palestine”, http://en.wikipedia.org/wiki/1936%E2%80%931939_Arab_revolt_in_Palestine, 22 April 2008, 13.21 WIB
[14] Resolusi yang dihasilkan Majelis Umum bersifat tidak mengikat, seperti yang telah diamanatkan dalam United Nations Charter. Apabila Resolusi itu dimaksudkan sebagai keputusan internal dalam Majelis Umum, maka resolusi itu bersifat mengikat. Hanya Dewan Keamanan yang memiliki Resolusi mengikat (legally binding) baik yang bersiat internal maupun eksternal.
[15] Peter Mansfield, The History of Middle East Second Edition, Penguin Books, New York, 2004, hlm. 236.
[16] Wikipedia, “Palestine Liberation Organization”, http://en.wikipedia.org/wiki/Palestine_Liberation_Organization, 22 April 2008, 14.17 WIB
0 komentar:
Posting Komentar