“Pokoke
nek aku ketemu uwong sing nganggo kaos ijo(slemania) meh tak bandem… “,
kata itu terucap begitu saja dari mulut seorang anak kecil disebuah
kampung di kecamatan Wirobrajan Yogyakarta. Barangkali umurnya tidak
lebih dari 15 tahun, perkiraan saya sekitar 11 tahun. Anak itu masih
ABG, tidak juga, bagiku itu masih anak-anak. Saya pikir dia belum
terlalu lama dipisahkan dari air susu ibunya. Saya melihatnya sekali
lagi, kelihatan cukup emosional, marah, namun satu hal yang tidak bisa
disingkirkan bergitu saja dari raut wajahnya, innocent, ala anak-anak.
Satu
diantara dua temannya, umurnya sebaya, menimpali. “Opo awak dewe gawe
plinteng wae, ben iso cepet mlayu, ujarnya”. Aku tersenyum melihat
tingkah polahnya. Mereka bertiga malu-malu setelah tahu jika aku
memperhatikanya. Tak lama setelah itu anak-anak itu lagi-lagi berbisik,
“ono cah slemania” sambil menunjuk-nunjuk motor yang aku pake siang itu.
Maklum di motor yang aku pakai terdapat tas kecil bungkus kaos
bertuliskan “I Love (tanda jantung hati) PSS” berwarna hijau yang aku
beli beberapa waktu yang lalu dari salah satu teman slemania cyber. Tas
itu sudah berganti fungsi sebagai tempat air minum anakku, atas ide
anaku sendiri yang masih berumur 4 tahun.
Obrolan
anak-anak itu mengingatkan masa kecilku dulu, sejak SMP aku tak pernah
lepas dari sepakbola, tentu PSIM yang aku lihat waktu itu. Kebetulan
saya lahir dan besar di sebuah kampung bagian selatan kota Yogyakarta,
cukup 20 menit bersepeda menuju stadion Mandala Krida. Waktu itu belum
ada Brajamusti, yang ada PTLM (Paguyuban Tresno Laskar Mataram) sebagai
kelompok supporter satu-satunya di Yogyakarta. Agak mirip dengan obrolan
anak-anak diatas, saya dan teman-teman merasa bangga jika berhasil
meloloskan batu dan kelereng sebagai “amunisi” ketika kesebelasan lawan
mengungguli PSIM atau wasit yang saya pandang berat sebelah, hanya
sekedar itu, tidak lebih.
***
Petang
itu, menjelang maghrib, derby antara PSS vs PSIM telah usai. Saya
pulang melewati depan perumahan mewah di Kecamatan Depok Sleman. Sesuai
aturan saya masuk melalui jalur lambat, jalur khusus sepeda motor. Di
depan perumahan itu sangat ramai dengan banyak orang, info yang saya
dapat baru saja ada dua orang berbaju Slemania dihadang dan dipukuli
rombongan Brajamusti yang baru saja pulang dari stadion Maguwoharjo
Sleman. Karena jalan macet, saya menghentikan sepeda motor. Parkir
sejenak sambil memperhatikan situasi sekitar. Sekitar 5 meter didepanku,
saya melihat rombongan 7 anak kecil dengan menggunakan sepeda onthel
lengkap dengan atribut hijau Slemania. Tak ketinggalan bendera kecil
yang ditautkan di bagian belakang sepedanya.
Rombongan
anak kecil itu berkumpul dan mengelilingi satu diantara 7 orang
tersebut. Terlihat satu anak itu menangis. Saya dekati, “ngopo je le?”,
tanyaku penuh selidik. “niki lho pak, nangis soale wedi kalihan tiyang
Brajamusti”, jawab salah satu anak. “wau wonten tiyang Slemania
diantemi”, timpal yang lainya. “Trus niki nggih sedoyo ajrih ajeng
wangsul teng griyo”, anak ketiga menyambung. “lha omahmu ngendi”,
tanyaku. “niki sak rencang griyane teng Moyudan”, jawab mereka serempak.
Saya berpikir anak-anak ini bener-bener militan, dari Moyudan
bersepeda, hujan lagi.
Saya
sarankan ke mereka, segera copot atribut kalau memang takut. Tak lama
ketujuh anak-anak ini segera mencopot baju, bendera dan syal mereka dan
ditaruh di sebuah tas kresek hitam. Dengan telanjang dada, mereka pamit
ke aku. “pak matur nuwun nggih, kulo sak rencang ajeng wangsul teng
Moyudan, mboten nopo2 mangkeh nek masuk angin, niki pun resiko slemania
sejati pak, nuwun nggihhh…”, ujar salah satu anak. Saya terhenyak, tak
habis pikir, ternyata sepak bola benar-benar bahasa universal.
Dua
kasus ini begitu mengejutkan, minimal bagiku. Anak-anak telah menjawab
sebuah perlawanan, tidak dalam konotasi negative. Perlawanan merupakan
simbol keberanian ataupun simbol menghadapi situasi sekitar untuk
kemudian menentukan sebuah sikap yang akan dilakukan. Semoga saya tidak
salah menentukan pilihan kata. Bisa juga anak-anak tersebut, dengan
kapasitas masing-masing, telah menunjukkan sebuah militansi. Militansi
yang sering didengungkan oleh kelompok-kelopok supporter di Indonesia
hingga saat ini.
Militansi,
dalam kamus besar bahasa Indonesia kurang lebih mempunyai arti
ketangguhan dalam berjuang menghadapi kesulitan atau berperang.
Bersemangat tinggi, penuh gairah dan berhaluan keras. Militansi tidak
ditawar-tawar lagi, ini sebuah resiko perjuangan yang harus dihadapi
baik secara individu maupun kelompok. Militansi tidak berdiri sendiri,
harus ada obyek, subyek dan predikat. Militansi adalah produk dari
sebuah obyek yang berlawanan. Dalam sepakbola, apalagi derby telah
memunculkan api-api militansi di kedua belah pihak.
Perseteruan
kelompok supporter PSS dan PSIM, menurut catatan saya sudah sejak tahun
2004 telah memunculkan miltansi di kedua belah pihak, baik itu Slemania
dan Brajamusti. Namun karena sepakbola merupakan bahasa universal,
anak-anak pun ikut terlibat dalam konsep militansi ini. Sekelompok anak
kecil di kecamatan Wirobrajan memaknai militansi dengan menggunakan
peralatan “tempur” seperti batu dan plinteng. Mereka akan menyerang
lawanya dengan alat-alat yang sudah disiapkan. Namun sekelompok
anak-anak dari Moyudan melihat kesebelasannya bertanding dengan
bersepeda onthel. Ketika mereka menemui kesulitan dan ketakutan dijalan
kemudian menyelesaikanya dengan mencopot atribut dan pulang ke rumahnya
dengan bertelanjang dada.
Sayangnya
saya tidak mencoba “memotret” kedua kelompok anak-anak ini menjadi
lebih dalam, lebih in depth. Saya hanya melihat permukaan saja. Namun
bagi saya, ini merupakan kecenderungan, proyeksi sebuah sikap militansi
dengan gaya masing-masing. Ini sangat dipengaruhi dengan style
masing-masing kelompok supporter dalam mensikapi dan mendukung
kesebelasan masing-masing. Pengurus Slemania, menurutku masih bisa
mengendalikan anggotanya yang berjumlah ribuan. Sehingga bagi Slemania,
menonton sepak bola merupakan sebuah tontonan murni. Konflik, saling
lempar dengan supporter tamu jarang bahkan tidak terjadi di stadion
Maguwoharjo. Secara otomatis, hal inilah yang juga ikut andil “mendidik”
slemania menjadi supporter yang tidak paham situasi dan kondisi.
Saya
pernah menolong seorang Slemania yang dihajar oleh sekelompok supporter
Brajamusti di ring road utara, saya coba korek informasinya. “Kenopo
koe lewat mbarengi rombongan Brajamusti”, tanyaku. Jawabnya amat
singkat, “kulo niki mboten ngerti nek Brajamusti niku mungsuhi
Slemania”. Kejadiannya tahun 2009, masih sangat fresh, belum ada
setahun. Bagiku ini sangat fatal, seseorang tidak mengetahui situasi dan
kondisi. Bagi dia (korban pemukulan tersebut) seluruh supporter
sepakbola dianggap sama seperti Slemania. Anti anarki dan supporter
sopan.
***
Dua
kasus kelompok anak-anak tadi mencerminkan kondisi masing-masing
kelompok supporter, namun demikian inilah salah satu contoh militansi
yang berhasil ditunjukkan, tentu dengan cara dan gaya masing-masing.
Saya yakin bahwa anak-anak ini tidaklah mendapatkan “pendidikan” dari
masing-masing orang tuanya. Mereka hanya melihat lingkungannya, melihat
perilaku masing-masing orang dewasa disekitarnya. Anak-anak itu
sendirilah yang akan melakukan apapun seperti yang mereka lihat dengan
mata mereka sendiri.
Saya
salut, meski sekelompok anak-anak ini telah menunjukkan militansi untuk
kesebelasan masing-masing, sesungguhnya anak-anak ini juga merupakan
korban. Setiap konflik, perkelahian bahkan perang anak-anak merupakan
korban yang sesungguhnya. Dalam hal ini, anak-anak di Wirobrajan telah
belajar untuk berbuat kekerasan. Bibit-bibit permusuhan dan kekerasan
telah tertanam di otak bawah sadarnya. Sedangkan anak-anak dari Moyudan
telah melihat kekerasan didepan matanya sehingga rasa trauma itu akan
terus terbayang diotaknya hingga besar nantinya.
Kemudian,
apakah yang akan kalian cari dalam persetruan kedua kelompok suporter
ini? Bagiku militansi tidak identik dengan kekerasan, militansi bukanlah
ajang balas dendam. Namun kalau memang kekerasan jalan akhir dari
perseturan ini, saya siap ada dibarisan paling depan.
Kamis, 16 Februari 2012
JEJAK ANAK-ANAK DALAM KELOMPOK SUPORTER
14.51.00
No comments
0 komentar:
Posting Komentar